Cerpen Tentang Kehidupan Sosial Miskin - tukang becak


Assalamualaikum. Wr. Wb
Halo teman teman yang gaul gaul dan baik hatinya, yang kayaknya disini udah gak sabar pengen mbaca cerpen tentang kehidupan social miskin yang benar benar sesuai realita.
Oke langsung aja di baca, cekidot

Penumpang Setiaku
Karya: IMAM MURTAQI

Mungkin waktu pagi akan selalu dibenci oleh Pak Sarman, betapa tidak, sinar matahari pagi yang masuk lewat celah-celah rumahnya akan memaksa ia untuk bangun dari tidur dan menghadapi kehidupan nyata.
Sesegera mungkin pak Sarman harus memasak nasi dan menimba air untuk mandi dirinya dan putranya, setelah itu ia harus sarapan bersama istrinya dan menyuapi Gunawan anaknya yang duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar.
Pak Sarman yang sudah tua mengayuh becak yang sudah sama tuanya ke pasar, tempat yang katanya banyak rejeki. Melewati gang-gang kecil dan berebut jalan dengan mobil-mobil yang tak jarang menyentaknya dengan klakson-klakson merekan. Kadang-kadang Pak Sarman sengaja berangkat ke pasar tanpa mandi terlebih dahulu, demi mendapatkan waktu yang tepat bagi orang-orang ke pasar dan juga ia takut rejekinya takut di terjang oleh angkot-angkot bobrok dan besi beroda tiga milik rekan-rekannya.
“Pak Sarman...” teriak seorang wanita paruh baya. Dengan sigap ia menoleh ke kanan dan kiri mencari sumber suara itu.
“Oh, Mak Ijah..” kali ini hatinya sangat bahagia karena langganannya ini belum pulang dari pasar, seperti biasa dua keranjang penuh dengan sayuran dan lauk pauk siap diantarkannya. Maklum Mak Ijah pemilik warteg.
“Berarti, aku tidak datang terlambat hari ini,” gumam Pak Sarman dalam hati sembari menurunkan becaknya untuk memudahkan penumpangnya naik. Namun dengan buru-buru Mak Ijah melambaikan tangannya tanda menolak. Hatinya tergoyah serta muka yang tua itu semakin terlihat tua dengan kerut-kerut di dahinya.
“Kenapa mak?” tanya Pak Sarman.
“Aku naik angkot saja.” senyum Mak Ijah sembari menyetop angkot dan menaikinya dengan tergesa. Dunia terasa gelap dalam pandangan Pak Sarman. Harapannya musnah. Mak Ijah sudah tidak membutuhkannya lagi, padahal selama ini dialah satu-satunya penumpang setia yang mampu memberikannya sesuap nasi sekadar untuk sarapan sekeluarga, meski hanya berlauk garam. Sial, angkot itu merebut kehidupannya.
Sudah empat jam Pak Sarman menunggu di becak tuanya itu, matahari semakin naik di ubun-ubunya, dengan hati yang masih kecewa dan bepuluh-puluh tetes keringat yang terbuang sia-sia hari ini. Pikirannyapun melayang kemana-mana.
Pertama, Istrinya yang sudah ia nikahi lima belas tahun yang lalu kini tidak bisa melayaninya dan beraktifitas seperti biasa karena stroke, sebelum stroke Hesti berprofesi sebagai tukang sayur keliling di kompleknya, lumayanlah membantu ekonomi keluarga hingga kadang bisa makan dengan lauk tempe goreng dan ikan asin, tapi sekarang bisa makan dengan garampun sudah sangat bersyukur. Lebih bersyukur lagi dengan anaknya Gunawan yang kini setiap semeternya mendapat bantuan, hingga ia tak harus memikirkan bagaimana kebutuhan sekolah anaknya itu, Pak Sarman hanya ingin keluarga yang dicintainya baik-baik saja.
“Jangan kau coba kami dengan cobaan yang lebih berat Tuhan.”  itulah rintihan dalam do’a yang ia panjatkan.
“Orang susah sudah tidak afdol untuk sakit lagi Tuhan.” adunya lagi.
Pikiran Pak Sarman terus saja berulah, kini terpikir rumah kecilnya yang reot yang bisa dibilang sudah tidak layak lagi untuk dihuni keluarganya, rumah ini dibeli dengan uang hasil menjual sepetak tanah warisan dari orang tuanya. Sempat terpikir diangan  Pak Sarman untuk memperbaikinya tetapi apa daya, untuk makan saja ya susah, bagaimana dengan rumah?  Sekali lagi Pak Sarman mengelap keringat di mukanya yang kian terlihat tua lebih hari usia seharusnya.
Dipandanginya pasar yang mulai sepi, ketika terik semakin membakar kulit hitamnya, kecuali seorang nenek-nenek yang berjalan tergopoh-gopoh dengan tongkat sendiri membawa dagangan di bakulan yang ada di punggungnya. Hati Pak Sarman tergugah.
“Tak apalah belum dapat rejeki hari ini.” bisik Pak Tua ini bijak. Dengan perlahan ia bangkit menuntun becaknya mendekat.
“Becak Mbah?” tawar Pak Sarman dengan senyum. Meski senyum palsu terpaksa yang dilontarkannya dengan luka hati dan kecewa. Nenek itu memandanginya tak henti.
“Kau mau menculikku? Beraninya kau dengan orang tua begini? Jangan macam-macam, suamiku dulu mantan preman di pasar ini.” ucap si nenek dengan ketusnya.
Sambil beristigfar Pak Sarman menjawab dengan lirih
“Tidak mbah, saya benar-benar ingin membantu.”
“Alah, omong kosong, saya sudah tidak percaya dengan orang lain, semua orang sama saja, munafik. Kota ini benar-benar dipenuhi orang-orang munafik.” tegas si nenek seperti kesetanan menjawab tawaran Pak Sarman.
“Sudah, pergi saja kau mencari mangsa lain, biarpun tua, nenek masih punya harga diri dan tak mudah dibodohi.” tambah si nenek sekali lagi dengan raut muka yang sepertinya menyimpan sesuatu yang sudah lama mengganjal didirinya.
Mendengar itu Pak Sarman yang terkejut hanya termangu, memikirkan istrinya di rumah yang sudah tak bisa apa-apa, mungkin hidupnya kini sudah tak berarti lagi. Andai saja ia dapat berunjuk rasa kepada Tuhan,  tak semua orang sependapat dengannya. Dimana Tuhan yang Maha Pemurah bagi umat-umatNya? Dimana Tuhan yang Adil? Dimana Tuhan yang mengabulkan do’a-do’a umatNya? Pertanyaan-pertanyaan itu semakin meyesakkan rongga dadanya.
Kini ia baru teringat dengan istrinya yang pandai merajut, mengapa tak ia belikan saja jarum dan benang, siapa tau  jemari istrinya itu dapat berkerja dengan telaten menciptakan kaligrafi-kaligrafi yang dapat dijual untuk mempertahankan ekonomi keluarganya? Ia merogoh saku celananya, ternyata kosong. Lehernya seperti dicekik oleh tangan tangan yang membuatnya semakin sesak bernapas.
“Eh, kenapa kau masih disini ?” kembali lagi suara parau itu mengejutkan Pak Sarman yang berdiri di depannya. Teryata ia telah terlalu lama termenung berdiri di depan nenek itu.
“Iya mbah, iyaa..“ Pak Dirman akhirnya pergi sambil menggenjot pedal becaknya. Batinnya bergejolak. “Negeri macam apa ini?”
Pertanyaan-pertanyaan yang hampir sama dengan pertanyaan istrinya tiba-tiba muncul memenuhi ruang kepala. Di manakah Tuhan ketika hambaNya kesusahan? Makan susah, Minum susah, tersenyum dan tertawa pun lebih susah.
Pak Sarman mengayuh becaknya lebih cepat, ia tak sepenuhnya ada diatas becak, sesekali kayuhannya terlepas dari pedalnya. Bagaimana tidak? Pikirannya yang belum sepenuhnya menyatu dengan keadaan sebenarnya saat ini ditambah lagi dengan jam makan siangnya yang tertunda-tunda, sama seperti keluarganya di rumah yang tentu belum makan siang. Perih memang.
Otak dikepalanya dipaksanya untuk berpikir lebih keras, kini pikirannya tiba pada masalah janji. Ya, janji calon bupati yang beberapa tahun lalu sewaktu istrinya masih sehat mendatangi rumahnya,  rumah-rumah yang di datangi calon bupati itulah yang akan mendapat bantuan material untuk merenovasi, mungkin itu hanya taktik yang dilakukan sekumpulan orang-orang besar yang menginginkan jabatan. Mungkin jika Pak Sarman ada diposisi itu, juga akan melakukan hal yang sama,  menebar janji.
Ya, bagi kami orang-orang kecil tak masalah dengan janji-janji itu, yang kami tau semuanya bekerja untuk diri sendiri, kami bekerja untuk diri sendiri dan mereka yang seharusnya bertanggung jawab memikirkan rakyat tetap saja memikirkan diri sendiri.
Faktanya memang begitu, sampai hampir habis masa jabatannya bantuan itu tak keluar juga, bahkan untuk mendatangi kompleknya lagi pun belum pernah, ah memang sialan negeri ini, mau protes? Hasss, ribet, harus berhadapan dengan orang-orang berbaju rapih yang serba wangi sedangkan kami tak wangi sedikitpun, kalau saja mereka menutup hidung? wajar, bagaimana jika mereka menutup mata juga?
Keringat dileher Pak Sarman makin menjadi-jadi,  ia tak menghiraukannya lagi, kini Pak Sarman benar-benar kehilangan akal sehatnya, hidup benar-benar tidak ada artinya.
Hingga ia akhirnya kembali tak berputus asa setelah ia ditolong Pak Haji Somad tepat sebelum ia menceburkan diri ke sungai, karena seharian pikirannya dipenuhi oleh setan-setan kehidupan. Ia kembali mengayuh becaknya perlahan, hidup baginya tak boleh putus asa dan tak perlu mempertanyakan keberadaan Tuhan. Ia ingat betul apa yang dikatakan oleh Haji Somad. Ketika kita mendekati tuhan sejengkal maka Tuhan akan mendekati kita satu hasta, ketika kita mendekati tuhan satu hasta maka tuhan akan mendekati kita satu lengan, ketika kita mendekati-Nya dengan berjalan maka  Tuhan akan mendekati kita dengan berlari, apapun yang kita lakukan tak pernah tak ternilai dimata Tuhan kita. Itulah yang dikatakan Pak Somad ketika ada di becaknya yang setelah itu menggenggamkan sejumlah uang, yaa, semacam uang kagetlah.
Uang kaget itupun membuat Hesti bisa tersenyum, meskipun kaki-kakinya belum dapat digerakkan namun bibirnya dapat menorehkan senyum, dan tangan kakunya dapat menciptakan pernak pernik serta rajutan kaligrafi yang dapat memperbaiki ekonomi keluarganya yang hampir kandas karena keputusasaan.
Kini Pak Sarman yakin, meskipun ini bukan suatu mukjizat karena ia bukan nabi ataupun ulama, tapi ia percaya kasih sayang Tuhan akan selalu ada untuk setiap umat-umatNya. Tinggal bagaimana kita menyikapi ketika ada cobaan, bagaimana kita bersabar menunggu waktu Tuhan memberikan imbalan dan bagaimana kita tetep percaya dalam hati bahwa Tuhan benar-benar akan selalu ada disetiap kehidupan asalkan kita mau mengingatnya dan terus berusaha. Pak Sarman dan keluarganya kini sadar, telah lama mereka meninggalkan shalat. Mereka hanya berdoa dan terus berdoa menanti keajaiban tiba. Namun ternyata semua itu salah.
“Maafkan hamba-Mu ini Tuhan.” Pak Sarman meneteskan air mata.
Kini Pak Sarman telah kembali siap mengayuh becaknya ke pasar dan siap bersaing dengan angkot-angkot bobrok itu di pasar, tak apalah walaupun ia kehilangan penumpang langgangannya Mak Ijah, bukan berarti kiamat kan?
Tukang becak kini semakin sepi dipasaran, karena mereka lelah menunggu, ini membuat Pak Sarman semakin semangat mengayuh pedalnya setiap pagi.
Dan juga Pak Sarman kini memiliki pelanggan setia lainnya yaitu ibu-ibu yang ia tolong jauh hari sebelumnya, yang ternyata istri Pak Somad. Dan tentu hingga ia mendapatkan uang kaget karena itu. Akhirnya Pak Sarman paham akan arti dari setiap langkah hidupnya. Alhamdulillah !



Oke, cukup sekian
Kalau temen temn punya cerpen dan pengen di publis di sini, ayo silahkan di klaporin di kolom komentar yaaaaa…
Oke Terima kasih telah membaca.


Ditulis Oleh : Imam Murtaqi Hari: 18.38 Kategori:

1 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...